KATA
PENGANTAR
Puji syukur kami limpahkan atas
kehadiran Tuhan semesta alam, Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang telah melimpahkan
segala karunia rahmat dan hidayah-Nya. Sehingga, pembuatan makalah yang
merupakan tugas kelompok ini dapat kami selesaikan dengan sebaik-baiknya.
Shalawat serta salam pun selalu tercurah kepada junjungan kita, baginda
Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wassalam, yang dengan kehadirannya Islam
dapat sampai kepada kita hari ini
Proses pembuatan makalah dengan tema
“Tradisi Kritis 2” ini pun dapat berjalan dengan baik dan lancar berkat bantuan
dari berbagai pihak, yang tak bisa kami sebutkan satu persatu namanya disini.
Maka dari itu, kami menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak tersebut.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari sempurna. Maka dari itu, kami menyampaikan maaf jika ada beberapa
kesalahan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua. Yang sempurna
datang dari Allah, sementara manusia hanyalah tempat salah.
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR…………………………………………………………….. 1
DAFTAR
ISI………………………………………………………………………. 2
MARXISME………………………………………………………………………. 3
FRANKFURT
SCHOOL………………….………………..……………………… 4
POSMODERNISME………………………………………………………………. 5
FEMINISME………………………..……………………………………………... 6
REFERENSI………………………………..…………………….……………… 7
MARXISME
Meskipun teori kritis telah muncul jauh setelah karya Karl
Marx dan Friedrich Engels, Marxisme jelas adalah cabang yang merupakan cikal
bakal lahirnya teori kritis. Marx mengajarkan bahwa alat-alat produksi dalam
masyarakat menentukan sifat (kesadaran) masyarakat; sehingga dalam pandangan
Marx, ekonomi adalah dasar (basis) dari semua struktur sosial. Dalam
sistem yang kapitalistis, produksi dikendalikan oleh keuntungan (profit drives
production), sebuah proses yang pada akhirnya akan menindas buruh atau
kelas pekerja, karena dengan ini pandangan ini pengusaha akan berusaha
memaksimalisasi keuntungan dengan mengurangi biaya produksi, termasuk menggaji
buruh dengan uah yang sangat rendah. Hanya ketika kelas pekerja bangkit melawan
kelompok dominan (kelompok kapitalis) yang dapat mengubah sarana produksi dan
pembebasan pekerja dapat dicapai. Dalam pandangan Marx, para buruh dapat bebas
hanya jika penguasaan terhadap alat-alat produksi dihapuskan, inilah yang
mendasari dari pandangan utopis Marx mengenai sebuah masyarakat tanpa kelas,
dimana semua alat-alat produksi dimiliki secara bersama-sama. Tujuan dari
revolusi komunis di seluruh dunia, termasuk di Indonesia dengan percobaan revolusi
oleh PKI, adalah terciptanya masyarakat yang tanpa kelas dan tanpa pemilikan
terhadap alat-alat produksi. Teori Marxis klasik ini lebih jauh disebut kritik
ekonomi politik. Ketertarikan terhadap bahasa tetap menjadi sangat penting bagi
teori kritis. Dalam Marxisme, praktek komunikasi dipandang sebagai hasil dari
ketegangan (tension) antara kreativitas individu dan kendala sosial pada
kreativitas itu. Pembebasan akan terjadi hanya ketika setiap orang benar-benar
bebas untuk mengekspresikan diri dengan kejernihan dan akal sehat. Paradoksnya
adalah, bagaimanapun, bahasa juga merupakan kendala penting dalam ekspresi
individu, terutama bagi bahasa yang berasal dari kelas dominan dan telah
membentuk ideologi, akan membuat kelas pekerja menjadi sulit untuk memahami
situasi mereka dan menjadi penghambat dalam menemukan cara-cara untuk mencapai
emansipasi Dengan kata lain, bahasa yang dominan mendefinisikan dan
melanggengkan penindasan terhadap kelompok marjinal. Inilah yang menjadi tugas
dari teori kritis, yaitu bagaimana menciptakan bentuk-bentuk baru dari bahasa
(diskursus) yang akan memungkinkan ideologi dari kelompok marjinal dapat
mencuat kepermukaan dan dapat didengar untuk kepentingan pembebasan
FRANKFURT SCHOOL
Frankfurt School merupakan tradisi
terpenting dalam critical theory (teori kritis). Farnkfurt
School berasal dari pemikiran sekelompok ilmuwan German di bidang filsafat,
sosiologi dan ekonomi yang tergabung ”the Institute for Sosial Research” yang
didirikan di Frankfurt, Jerman pada tahun 1923.
Tokoh-tokoh yang paling penting dan berkontribusi besar dalam
pengembangan kelompok ini adalah Max Horkheimer, Theodor Adorno dan Herbert
Marcuse, dimana pemikiran-pemikiran mereka menjadi sangat berpengaruh besar
dalam proyek-proyek teori kritis. Para anggota sekolah percaya pada perlunya
integrasi antara disiplin ilmu-filsafat, sosiologi, ekonomi, dan sejarah
khususnya dalam rangka untuk mempromosikan filosofi sosial yang luas atau teori
kritis yang mampu menawarkan pengkajian yang komprehensif dari kontradiksi dan
interkoneksi dalam masyarakat, namun sekaligus
melampui dan meninggalkan ajaran Marx secara baru dan kreatif. Cara pemikiran
Sekolah Frankfurt mereka sebut sendiri sebagai ”Teori Kritik Masyarakat”. Teori
Kritis memandang diri sebagai pewaris cita-cita Karl Marx, sebagai teori yang
emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya menjelaskan tetapi mengubah
pemberangusan manusia.
POSTMODERNISME
Pada awal tahun 1970-an muncul suatu
bentuk pemikiran baru yang disebut postmodernisme. Postmodernisme, dalam arti
paling umum, ditandai dengan berakhirnya modernitas dan proyek Pencerahan. Hal
ini sebagian besar menandai berakhirnya era masyarakat industri dan munculnya
era informasi, di mana produksi komoditas telah memberikan cara untuk produksi dan
manipulasi pengetahuan. Jean Francois Lyotard, pemikir dan filosof Prancis,
adalah salah satu yang ikut mengembangkan pemikiran mengenai postmodernisme.
Salah satu kontribusinya adalah penolakannya terhadap narasi besar (grand
narative), sehingga apa-apa yang dianggap sebagai umum dan universal telah
berakhir seiring dengan kemunculan postmodernisme. Dengan pandangan ini, tidak
ada lagi suatu hal yang universal dan bisa diterima oleh semua budaya ataupun
masyarakat, sebagaimana mimpi dari modernisme adalah menciptakan sebuah
peradaban universal, sebuah hal yang ditolak oleh postmodernisme. Disamping
itu, Jean Baudrillard, seorang pemikir dan sosiolog Prancis, memiliki
kontribusi yang cukup penting terhadap pemikiran postmodernisme; terutama
mengenai keresahannya atas pemisahan tanda-tanda dari referennya (objek yang
ditandai).
Dengan
pemisahan ini, tanda seolah-olah terpisah bahkan tak terkait dengan objek yang
ditandai. Fenomena ini kemudian menimbulkan apa yang disebut sebagai
hiper-realitas. Yaitu merujuk pada realitas artifisial yang telah terdistorsi.
Teori Postmodernisme
adalah antitesis dari modernisme yang selalu memunculkan ciri-ciri yang
menentang adanya modernitas. Teori Postmodernisme merupakan salah satu teori
yang cocok dikaitkan dengan adanya demonstrasi pada perayaan May Day tahun 2011
di lapangan Merdeka, sebab teori ini adalah teori yang menyetujui adanya
kebebasan dalam menyuarakan pendapat, zaman dimana demokrasi diumbar – umbar
sebagai lambang bahwa semua hal itu benar, semua tindakan manusia itu benar.
Misalnya saja dalam kasus ini ada demonstrasi yang anarki, dalam konsep teori
postmodernisme hal ini dibenarkan, begitu juga ada seorang pengendara sepeda
motor yang menerobos lampu merah,semua itu dibenarkan.
FEMINISME
Penelitian mengenai feminis telah
bertahun-tahun menjadi ranah yang sangat berpengaruh dalam tradisi kritis.
Feminisme telah didefinisikan dalam banyak cara, salah satunya adalah definisi
yang menyebutkan feminisme sebagai gerakan untuk mengamankan hak-hak bagi perempuan
untuk upaya mengakhiri segala bentuk penindasan. Jadi sarjana saat ini lebih
cenderung untuk berbicara tentang feminisme dalam bentuk jamak daripada
tunggal. Kajian feminis pertama dimulai dengan fokus pada gender dan
berusaha untuk membedakan antara seks – sebagai kategori biologis, dan gender –
yang merupakan hasil dari konstruksi sosial. Mereka, para sarjana yang bergelut
dengan kajian feminisme, telah meneliti, mengkritik dan menantang asumsi dan
praktek mengenai maskulinitas dan feminitas yang meliputi semua aspek
kehidupan, dalam upaya untuk mencapai cara yang lebih membebaskan bagi
perempuan. Namun demikian, penelitian mengenai feminis lebih dari sekadar
sebuah studi mengenai gender. Feminisme berusaha untuk menawarkan teori
yang berpusat pada pengalaman perempuan dan untuk mengartikulasikan hubungan
antara kategori gender dan kategori sosial lainnya, termasuk ras, etnis, kelas,
dan seksualitas. Akhir-akhir ini, studi mengenai bagaimana praktek
komunikasi berfungsi untuk menyebarkan ideologi gender dalam wacana yang
dimediasi (mediated discourse) telah menjadi sangat menonjol, yang
mencerminkan keberlangsungan kajian budaya (cultural studies) dalam
disiplin komunikasi. Juga yang menjadi semakin jelas adalah studi mengenai
contoh positif dari gaya (style) dan praktek komunikasi yang dapat
memberikan model peran untuk bagaimana mencapai perubahan yang konsisten dengan
nilai-nilai feminis.
REFERENSI :
-
Littlejohn, Stephen W dan Karen A. Foss (2008) Theories of Human
Communication, Ninth Edition. Thomson Wadsworth,
Sabtu
12:27 06/06/2015
mantap boskuuu
BalasHapus